Film horor perndek Journey to the Darkness (Safar be Tariki), bisa jadi adalah film produksi kolaborasi Indonesia-Iran pertama yang 99% dialognya menggunakan Bahasa Persia. Film unik ini, awalnya jelas dibuat karena masuknya member baru kami yang berasal dari Iran, Mohammad Mozafari atau akrab dipanggil Moyes. Seperti halnya kebanyakan dari kami, Moyes adalah penikmat film sejati yang akhirnya ingin mencoba berproduksi dengan menjadi sutradara. Kami memang mencari ide yang bisa mengkombinasikan antara Indonesia dan Iran, dan sewaktu ide cerita ini muncul, imigran asal Timur Tengah di Indonesia yang ingin pergi ke Australia, saat itu masih menjadi topik yang panas. Negara kita rupanya dijadikan tempat transit sebelum mereka pergi menuju ke negara-negara tujuan mereka, seperti AS, Kanada, serta Australia. Kisah film ini pun diinspirasi dari kejadian sungguhan yang menimpa rekan sang sutradara. Mengapa horor? Karena politik adalah horor.
Ide dan konsep film ini memang melalui proses yang sangat panjang, yaki sekitar 5-6 bulan sebelum akhirnya diproduksi. Beragam ide cerita dengan tema imigran gelap muncul, tapi tak ada satu pun yang pas dan mampu kita produksi. Ide awalnya, bahkan kami benar-benar ingin membuat film ini di kapal sungguhan. Kami pun sudah survei ke mana-mana, pantai di gunung kidul hingga Cilacap. Akhirnya, kami pun sadar dengan bujet dan peralatan yang ada, kami tidak akan mampu membuatnya. Akhirnya, kami pun menemukan konsep cerita yang sangat brilian dengan “memindah” kapal tersebut ke sebuah villa yang ada di Kaliurang. Bentuk villa yang kami sewa pun, baik eksterior maupun interior memang mirip bentuknya dengan sebuah kapal.
Filmnya kami bagi menjadi 2 segmen, segmen found footage dan segmen long take. Segmen found footage menggunakan konsep rekaman video yang berisi wawancara para imigran asal Timur Tengah. Para pemain film ini pun berasal dari negara yang berbeda, yakni Iran, Afganistan, dan Serbia, termasuk sang sutradara sendiri. Proses pencarian pemain, khususnya pemeran perempuan adalah masalah tersendiri yang akhirnya mampu kami dapatkan melalui proses panjang. Segmen ini juga bisa dikatakan sebagai pengenalan karakter, tentang imigran dan mengapa mereka akhirnya memutuskan untuk pergi dari negara mereka, dengan alasan-alasan yang memang konkret.
Dari 5 karakter, 1 karakter (perempuan) tidak melakukan wawancara yang dikisahkan tengah sakit, namun alasan sebenarnya adalah karena sang pemain tak mampu berbahasa Persia. Tidak ada masalah berarti dalam produksi film ini, kecuali sosok “hantu” yang ada dalam filmnya, yang membutuhkan waktu lama untuk mengambil take-nya. Sosok hantu yang berwujud sesosok berkerudung hitam ini adalah penting karena ini adalah simbol dari ketakutan dan masa lalu suram yang masih mengikuti mereka. Bagi warga Timur Tengah, sosok macam ini dianggap mengerikan ketimbang sosok hantu lokal kita yang tidak pernah ada dalam bayangan mereka.
Segmen kedua adalah segmen yang tersulit produksinya karena menggunakan teknik long take sepanjang 8 menitan dengan shot tanpa terputus. Mengapa menggunakan teknik ini? Karena segmen ini sebenarnya terjadi di atas kapal (simbolik tentunya) di mana masing-masing karakternya hilang/tewas karena dihantam badai. Layaknya kapal yang tengah berjalan, satu orang yang tersisa mencari rekan-rekan lainnya yang hilang hingga ia sendiri pun akhirnya tewas. Satu segmen “latar hitam” pada penghujung film dengan suara angin dan jeritan serta teriakan adalah untuk mempertegas situasi yang mereka hadapi. Beberapa penanda juga kami telah letakkan sejak segmen pertama yang menunjukkan jika rumah besar tersebut adalah sebuah kapal, melalui dialog, efek suara, hingga langit yang bergemuruh akan datangnya badai. Memang bukan hal yang mudah untuk dipahami penonton awam, dan kami pun mempertegas kembali menggunakan teks keterangan berupa informasi di akhir filmnya.
Journey to the Darkness adalah film horor politik unik yang memang kami tujukan untuk beberapa festival non-mainstream, seperti Jogja-Netpac Asian Film Festival. Faktanya, film ini berhasil tembus dalam festival ini dan bahkan sempat diputar di bioskop XXI dan CGV. Satu hal yang mengejutkan lagi, film ini mampu menembus nominasi film pendek di ajang bergengsi Piala Maya 2019 di Jakarta. Film pendek ini sebenarnya hanya sebagai uji coba dengan rencana besar kami ke depannya untuk membuat versi panjangnya. Bisa dibayangkan, jika film ini kelak bakal menggunakan teknik long take berdurasi 80 menit dengan hanya ber-setting di sebuah kapal yang melaju di tengah lautan? Ini pasti bakal menjadi sesuatu banget. Untuk sementara, selamat menonton versi pendeknya di bawah.