The Letter diproduksi dengan niatan untuk ikut berkompetisi dalam satu ajang festival film lokal. Idenya sederhana. Seorang ayah yang ditinggal putranya untuk bekerja, dan lambat laun sang anak pun melupakan sang ayah. Satu hal yang sepertinya lumrah di jaman sekarang. Teknologi komunikasi yang semakin canggih bukan justru mendekatkan, namun menjauhkan. Dalam ajang Festival Indonesia -Australia (FSAI) tahun 2016, Wakil Duta besar Australia untuk Indonesia, Allaster Cox memberikan apresiasi khusus pada film ini dalam pidatonya, karena begitu mengingatkan pada hubungan batin antara ia dengan ayahnya. Sayangnya, film ini gagal meraih predikat film terbaik di ajang ini.
Modal besar kekuatan film ini adalah pemain dan setting rumah, berbekal bujet produksi hanya Rp 1 juta. Brisman H.S. adalah seorang aktor senior asal Jogja yang telah sering bermain sebagai peran pembantu dalam film layar lebar. Beruntung, kami memang sudah berhubungan baik dengan beliau. Dua tahun sebelumnya, beliau juga pernah bermain dalam film kami. Hingga kini, beliau telah terlibat dalam 4 produksi film pendek kami. Satu lagi adalah setting rumah “klasik” yang digunakan untuk produksi film ini. Beruntung, rumah ini dimiliki oleh relasi dari satu rekan kami hingga untuk menembungnya pun tak sulit. Di rumah ini, perabot pun sebagian masih kuno, seperti meja, kursi, lemari, hingga jam antik. Tampilan serta semua yang ada dalam rumah ini sangat cocok dengan kisah filmnya.
Tentu tak banyak yang tahu, jika produksi film ini memiliki banyak problem. Produksi film ini hanya berlangsung sehari saja, sejak pagi hingga magrib. Satu kendala besar adalah tetangga depan rumah, tak jauh dari lokasi film ini, tengah ada lelayu. Bahkan halaman rumah ini yang cukup besar pun tak luput dari parkir kendaraan roda dua milik warga yang melayat. Alhasil, kami harus memundurkan beberapa jam produksinya. Satu kendala besar lainnya adalah putra Pak Brisman, pada saat bersamaan, mengalami kecelakaan lalu lintas. Namun, beliau tetap berlaku profesional karena ia tahu, kami sudah mempersiapkan dan menyewa banyak alat untuk produksi film ini sejak jauh hari. Beliau pun mengakui dalam beberapa adegan ia tidak berakting, namun berekspresi emosional sungguhan.
Dengan segala kendala tersebut, akhirnya film ini pun selesai diroduksi. Lokasi take yang hanya di dalam rumah saja memang mempersingkat waktu produksinya, sekalipun telah mundur berjam-jam. Sang aktor, seperti biasa, memang tidak mengecewakan dan bermain luar biasa. Ekspresi wajah memang sangat penting untuk kisah film ini karena durasi cerita berjalan berbulan-bulan lamanya. Bermain sebagai sang putra, Amri Oreza Yudantara Putra walau hanya sebagai pengisi suara turut terbawa permainan seniornya.
Film berdurasi nyaris 10 menit ini meraih beberapa penghargaan di beberapa festival lokal, dan satu yang unik menang di ajang festival ILM (versi 2 menit). Sayangnya, film ini tidak banyak kami ikutkan ke ajang festival film internasional, hanya beberapa saja, dan itu pun sempat masuk seleksi dalam satu festival film internasional di India.
Kami banyak mengucapkan banyak terima kasih untuk beberapa orang, yakni Pak Brisman, Mas Amri, Mas Agung (pemilik rumah). Semoga film ini bisa menginspirasi dan mengingatkan banyak orang pentingnya untuk selalu menjaga hubungan keluarga dan persaudaraan. Rumahku adalah istanaku. Tidak ada tempat yang nyaman selain di rumah kita sendiri karena apa yang kita cari sebenarnya telah ada di sini semua. Selamat menonton!