Seperti halnya Superboy, Nyumbang (2015) adalah film drama komedi yang memang khusus diproduksi untuk kami kirim ke festival-festival lokal yang bernuansa edukasi dan kearifan lokal. Sejak perkenalan kami dengan kelompok ketoprak (Merbabu Budaya pimpinan Hadi Manuto) dalam produksi sebelumnya, Umbul (2013), memudahkan kami untuk memproduksi film-film bertema lokal dan berbahasa daerah seperti ini. Kelak kami pun, setidaknya masih bekerja sama dengan mereka untuk beberapa produksi film cerita maupun dokumenter. Keuntungan punya relasi dengan mereka (pemain Ketoprak) adalah tentu dari sisi akting. Mereka sudah terbiasa dengan akting di depan penonton, tidak canggung di depan kamera, tak sulit menghafal dialog atau improvisasi, suara yang keras, serta bahasa gerak tubuh mereka yang dominan. Sewaktu menulis naskah serta konsep Nyumbang, mereka memang sudah dalam benak kami untuk bermain dalam filmnya.
Tidak banyak kesulitan dalam produksinya, kecuali jadwal para pemain. Kali ini, kami diperkenalkan pemain perempuan multitalenta, Widowati. Berpasangan dengan aktor reguler kami, Hadi Manuto, kedua pemain ketoprak ini memiliki chemistry yang sangat luar biasa. Pertama kali kami latihan berdialog, gelagat keduanya bakal bermain apik sudah terlihat. Pak Bejo (Hadi Manuto) dan Sutini (Widowati) adalah kunci utama keberhasilan film Nyumbang dengan permainan mereka yang brilian. Mereka bisa saling mengisi dengan dialog-dialog yang cepat tanpa sedikitpun terlihat berpikir. Improvisasi keduanya pun luar biasa, bahkan kadang mereka bisa menambahkan intonasi dialog yang tak mungkin bisa kami tulis di naskahnya.
Para pemain lain pun tak kalah cemerlangnya, Drs. Susanto (alm.) sebagai dokter Puskesmas, hingga pemain lainnya. Walau beberapa dari mereka, bukan pemain ketoprak, tetap saja bisa bermain luwes. Warga dusun Tanggul Angin (Ngablak, Magelang) yang menjadi lokasi produksinya seolah memiliki potensi bakat yang alami dari warganya. Pada adegan klimaks memperlihatkan hal ini dengan segmen montage maupun klimaks yang ramai dengan warga. Nyaris tanpa latihan, semua pemain figuran ini mampu bermain natural. Satu lagi yang sering menjadi pertanyaan adalah segmen montage “nyumbang” yang memperlihatkan Pak Bejo dan istrinya berkeliling desa untuk menghadiri acara hajatan. Jujur saja, kami sedikit beruntung karena sewaktu produksi di sekitar lokasi memang ada hajatan sungguhan. Kami tinggal menumpang untuk mengambil beberapa shot saja.
Dengan kisah yang membumi, Nyumbang memberikan satu gambaran tentang masyarakat kita, khususnya di wilayah pinggiran dan pedesaan. Fenomena ini memang terjadi di mana pun, khususnya di Jawa. Film ini mengisahkan bagaimana seseorang jika memang karena tekanan situasi ekonominya, benar-benar tidak mampu menyumbang. Mereka terpaksa menyumbang karena takut dikucilkan atau menjadi bahan omongan warga. Ini memang kenyataan yang terjadi. Semasa musim hajatan tentu tidak sedikit uang yang harus dikeluarkan. Siapapun yang hidup di desa atau kampung pasti mengalami hal yang sama.
Dengan kisah yang membumi serta akting para pemain yang menawan, membuat film ini meraih beberapa penghargaan lokal, di antaranya Anti Corruption Film Festival (ACFFest 2015) yang meraih penghargaan film terbaik. Sayangnya, film ini pun juga tidak banyak kita ikutkan ke festival film lokal serta umurnya sudah terlalu tua untuk kami ikutkan festival film internasional, padahal film ini sebenarnya banyak memiliki potensi.
Sebagai penutup kami ingin mendedikasikan film ini pada rekan kami, alm. Drs. Susanto (Pak Santo) yang sudah bermain beberapa kali dalam film produksi kami, yakni Umbul, Nyumbang, dan Reco. Beliau adalah seorang sosok yang baik hati serta selalu mengayomi selama bekerja bersama kami. Peran beliau dalam film-film kami tidak sekalipun pernah meleset aktingnya dan selalu bermain baik dalam tiap perannya. Selamat jalan Pak Santo. Semoga mendapat tempat terbaik di sisi-Nya.
Silahkan menonton filmnya!